BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANGAN
Al-Quran
adalah kitab suci umat Islam. Diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril. Kitab terakhir ini merupakan sumber utama ajaran Islam dan pedoman
hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya ( Hablum min Allah wa hablum
min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran
Islam secara sempurna (kaffah),
diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Quran dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi
Muhammad SAW. Diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslub-nya.
Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna. Kendati al-Quran berbahasa
Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab,
dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-Quran adalah kitab yang agung,
memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada bangsa Arab yang
lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Quran mampu
meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir Sastrawan Arab, hingga tidak berdaya
dihadapan Al-Quran.
Kitab
suci al-Quran sebagai pedoman umat Islam harus dipahami dengan benar. Hasbi
Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami al-Quran dengan sempurna, bahkan
untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang
disebut Ulumul Qur”an.[1]
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
Pengertian Ulumul Qur’an
2. Apa Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
3. Apa
Pembagian dan Cabang-cabang Ulumul Qur’an
4. Bagaimana Tahap-tahap Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Ulumul Qur’an
5.
Bagaimana
Urgensi
Mempelajari Al-qur’an
6.
Bagaimana Tujuan dari Mempelajari Ulumul
Qur’an
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ulumul Qur’an
Istilah Ulumul Qur’an, secara etimologis
merupakan gabungan dari dua kata bahasa Arab ulum dan al-Qur’an. Kata ulum bentuk jama’ dari kata ‘ilm yang merupakan bentuk masdhar dari
kata ‘alima, ya’lamu yang berarti mengetahui.[2]
Dalam kamus al-Muhit kata ‘alima disinonimkan dengan kata ‘arafa (mengetahui, mengenal).[3]
Kata ‘ilm semakna dengan ma’rifah
yang berarti “pengetahuan”. Sedangkan ‘ulum berarti sejumlah pengetahuan.
Kata
al-Qur’an dari segi bahasa adalah bentuk masdhar dari kata kerja Qara’a, berarti “bacaan”. Hal ini
berdasarkan firman Allah:
Artinya:
apabila kami telah selesai membacanya,
maka ikutilah bacaannya. ( QS. Al – Qiyamah: 18).[4]
Kemudian
dari makna masdhar ini dijadikan nama untuk kalamullah mukjizat bagi nabi
Muhammad SAW.[5]
Lebih lanjut terdapat beberapa pandangan ulama tentang nama Al-Qur’an itu
sendiri, sebagaimana yang terungkap dalam kitab al- Madkhal li Dirasah al-
Qur’an al-Karim,[6]sebagai
berikut:
1. Qur’an adalah
kata sifat dari al-Qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata
ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat,
memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab
yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan al-Zujaj.
2. Kata
al-Qur’an adalah ism alam, bukan kata
bentukan dan sejak awal digunakan sebagaimana bagi kitab suci umat Islam.
Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’I.
Menurut
Abu Syuhbah, dari beberapa pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat
yang mengatakan al-Qur’an bentuk masdhar dari kata Qara-a.[7]
Sedangkan
al-Qur’an menurut istilah adalah: “ Firman Allah Swt, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw., yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai
ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, dimulai
dengan surat al- Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.[8]
Kata
ulum yang disandarkan kepada kata “al-Qur’an” telah memberikan pengertian
bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
al-Qur’an, baik dari segi kberadaannya sebagai al-Qur’an maupun dari segi
pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Secara istilah, para
ulama telah merumuskan berbagai defenisi Ulumul Qur’an.
1. Al-Zarqani
merumuskan pengertian Ulumul Qur’an sebagai: beberapa pembahasan yang
berhubungan dengan AL-Qur’an al-Karim, dari segi turunnya, urut-urutannya,
pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh
dan mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya,
dan sebagainya.[9]
2. Manna’ al-
Qathan memberikan defenisi bahwa Ulumul
Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al-
Qur’an dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah, hal –hal lain yang ada hubungannya dengan al-Qur’an.[10]
3. Menurut T.M
Hasbi As-Shiddiqie
‘Ulumul
Qur’an ialah pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi
nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya, membacanya dan menafsirkannya,
I’jaznya, nasikh mansukhnya, menolak syubhat-syubhat yang dihadapkan kepadanya.[11]
Defenisi nomor satu dan dua di atas pada dasarnya
sama. Keduanya menunjukkan bahwa ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah
pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama dan bahasa. Masing-masing menampilkan
sejumlah aspek pembahasan yang dianggap penting. Objek pembahasannya adalah
Al-Qur’an.
Adapun
perbedaannya terletak pada tiga hal:
1. Aspek
pembahasannya; defenisi pertama menampilkan sembilan aspek pembahasannya dan
yang kedua menampilkan hannya lima daripadanya.
2. Meskipun
keduanya tidak membataskan pembahasannya pada aspek-aspek yang ditampilkan,
namun defenisi pertama lebih luas cakupannya dari yang ke dua. Sebab, defenisi
pertama diawali dengan kata Mabaahitsu
yang merupakan bentuk jama’ yang tidak berhingga dan menyebut secara eksplisit
penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an
sebagai bagian dari pembahasannya. Sedangkan defenisi yang kedua tidak
demikian.
3. Pada perbedaan aspek
pembahasan yang ditampilkan tidak semuanya sama di antara ke duanya. Defenisi
pertama disebutkan bahwa penulisan al-Qur’an, Qiraat, penafsiran dan
kemu’jizatan Al-Qur’an sebagai bagian pembahasannya. Sementara itu, dalam
defenisi ke dua semua itu tidak disebutkan.[12]
Dengan
melihat persamaan dan perbedaan antara kedua defenisi di atas dapat diketahui
bahwa defenisi pertama lebih lengkap dibanding dengan defenisi ke dua. Dengan
demikian defenisi kedua lebih akomodatif terhadap ilmu-ilmu Al- Qur’an yang
selalu berkembang sebagaimana akan terlihat pada uraian sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Ulumul Qur’an.
Penjelasan-penjelasan di atas juga menunjukkan
adanya dua unsur penting dalam defenisi Ulumul Qur’an. Pertama, bahwa ilmu ini
merupakan kumpulan sejumlah pembahasan. Kedua, pembahasan-pembahasan ini
mempunyai hubungan dengan Al-Qur’an,
baik dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman
kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.
B. Ruang Lingkup ‘Ulum AL-Qur’an
Berdasarkan
pengertian ‘Ulum AL-Qur’an di atas dapat dipahami tentang ruang lingkup Ulum
Al-Qur’an, yaitu semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an berupa ilmu agama
dan ilmu ‘Ibrab Al-Qur’an. Bahkan As-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Syadali memperluasnya sehingga memasukkan kedokteran, ilmu ukur, astronomi dan
sebagainya ke dalam pembahasan ‘Ulumul Qur’an.[13]
Namun
As-Shiddiqie sebagaimana yang dikutip oleh Ramli Abdul Wahid mengatakan bahwa
segala macam pembahasan ‘Ulumul Qur’an kembali kepada beberapa pokok persoalan sebagai
berikut:
1. Persoalan Nuzul, ayat-ayat Makiyah
atau Madaniyah, sebab turun ayat, yang mula-mula turun dan yang terakhir turun,
yang berulang-ulang turun, yang turun terpisah pisah, dan yang turun sekaligus
2. Persoalan sanad, meliputi
hal-hal yang berhubungan dengan sanad yang muthawatir, yang ahad, yang Syaz,
bentuk-bentuk Qirat, para periwayat dan penghafal Al-Qur’an dan cara tahammul (
penerimaan riwayatnya)
3. Persoalan adad Qiraat,
masalah waqaf (berhenti), ibtida’ (cara memulai), imalah( cara memanjangkan)
takhfif Hazah (cara meringankan Hamzah), idgham (memasukkan bunyi huruf nun
mati ke dalam huruf sesudahnya)
4. Persoalan yang menyangkut
lafal Al-Qur’an yaitu Gharib (pelik), Mu’rab (menerima perubahan akhir kata),
majaz (metafora), musytarak, muradif (sinonim), isti’arah (metaphor), tasybih
(penyerupaan).
5. Persoalan makna al-Qur’an yang
berhubungan dengan hukum yaitu ayat yang bermakna umum yang dikhususkan oleh
sunnah, yang nash, yang zhahir, yang mujmal (global), yang munfashal (yang
terinci), yang manthuq (makna yang berdasarkan pengutaraan), nasikh mansukh,
mutlaq (tidak terbatas) dan muqayyad (terbatas) dan lain sebagainya
6. Persoalan makna Al-Qur’an
yang berhubungan dengan lafal fashl (pisah), washal (berhubungan), ijaz (
singkat), ithnab ( panjang) musawah (sama) dan Qashr (pendek).[14]
C.
Pembagian
dan Cabang-Cabang Ulumul Qur’an
Ilmu-ilmu Alquran pada dasarnya terbagi ke dalam dua
kategori. Pertama, ilmu riwayah, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat
diketahui melalui jalan riwayat, seperti bentuk-bentuk qiraat,
tempat-tempat turunnya Alquran, waktu-waktu turunnya. Kedua, ilmu dirayah,
yaitu ilmu-ilmu yang diketahui melalui jalan perenungan, berpikir, dan
penyelidikan, seperti mengetahui pengertian lafal yang gharib,
makna-makna yang menyangkut hukum, dan penafsiran ayat-ayat yang perlu
ditafsirkan.
Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tujuh belas ilmu-ilmu Alquran yang terpokok.
1. Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya,
awalnya, dan akhirnya. Di antara kitab yang membahas ilmu ini adalah Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Suyuthi.
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan masa turunnya ayat dan urutan turunnya
satu persatu, dari permulaan turunnya sampai akhir serta urutan turun surah
dengan sempurna.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat. Di
antara kitab yang penting dalam hal ini adalah kitab Lubab al-Nuqul
karya Al-Suyuthi. Namun, perlu diingat bahwa banyak riwayat dalam kitab
ini yang tidak sahih.
4. Ilmu Qiraat
Ilmu ini menerangkan bentuk-bentuk bacaan Alquran yang telah
diterima dari Rasul SAW. Ada sepuluh qiraat yang sah dan beberapa macam
pula yang tidak sah. Tulisan Alquran yang beredar di Indonesia adalah menurut
qiraat Hafsh, salah satu qiraat yang ke tujuh. Kitab yang paling
baik untuk mempelajari ilmu ini adalah Al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr
karangan Imam Ibn al-Jazari.
5. Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca Alquran dengan baik. Ilmu
ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti, bacaan yang panjang dan yang
pendek, dan sebagainya.
6. Ilmu Gharib Alquran
Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang ganjil dan tidak
terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang biasa atau tidak terdapat dalam
percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti menjelaskan makna kata-kata yang
pelik dan tinggi. Di antara kitab penting dalam ilmu ini adalah Al-Mufradat
li Alfaz al-Qur’an al-Karim karangan Al-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini
sangat penting bagi seorang mufassir atau penerjemah Alquran.
7. Ilmu I’rab Alquran
Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Alquran dan
kedudukannya dalam susunan kalimat. Di antara kitab penting dalam ilmu ini
adalah Imla’ al-Rahman karangan Abd al-Baqa al-Ukbari.
8. Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata Alquran yang mengandung
banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada tempat tertentu. Ilmu ini
dapat dipelajari dalam kitab Mu’tarak al-Aqran karangan Al-Suyuthi.
9. Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa al-
Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas
maknanya) dan yang mutasyabih (samar maknanya, perlu ditakwil). Salah
satu kitab menyangkut ilmu ini ialah Al-Manzumah al-Sakhawiyah karangan Al-Sakhawi.
10. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu ini menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh
(yang dihapuskan) oleh sebagian para mufassir. Di antara kitab-kitab yang
membahas hal ini adalah Al-Nasikh wa al-Mansukh karangan Abu Ja’far
al-Nahhas, Al-Itqan karangan Al-Suyuthi, Tarikh Tasyri’ dan Ushul
al-Fiqh karangan Al-Khudhari.
11. Ilmu Badai’ Alquran
Ilmu ini bertujuan menampilkan keindahan-keindahan Alquran
dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan ketinggian balaghahnya.
Al-Suyuthi mengungkapkan yang demikian dalam kitabnya Al-Itqan dari
halaman 83 s/d 96 dalam jilid II.
12. Ilmu I’jaz Alquran
Ilmu ini menerangkan susunan dan kandungan ayat-ayat Alquran
sehingga dapat membungkemkan para sastrawan Arab. Di antara kitab yang membahas
ilmu ini adalah I’jaz al-Qur’an karangan Al-Bagillani.
13. Ilmu Tanasub Ayat Alquran
Ilmu ini menerangkan penyesuaian dan keserasian antara suatu
ayat dan ayat yang di depan dan yang di belakangnya. Di antara kitab yang
memaparkan ilmu ini ialah Nazm al-Durar karangan Ibrahim al-Biqa’i.
14. Ilmu Aqsam Alquran
Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan
yang terdapat dalam Alquran. Ibn al-Qayyim telah membahasnya dalam kitabnya Al-Tibyan.
15. Ilmu Amtsal Alquran
Ilmu ini menerangkan maksud perumpamaan-perumpamaan yang
dikemukakan Alquran. Al-Mawardi telah membahasnya dalam kitabnya berjudul Amtsl
al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal Alquran
Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan cara-cara debat dan
bantahan Alquran yang dihadapkan terhadap kaum Musyrik yang tidak bersedia
menerima kebenaran dari Tuhan. Najmuddin telah mengumpulkan ayat-ayat yang
menyangkut ilmu ini.
17. Ilmu Adab Tilawah Alquran
Ilmu ini merupakan tata-cara dan kesopanan yang harus
diikuti ketika membaca Alquran. Imam Al-Nawawi telah memaparkan dalam kitabnya
berjudul kita Al-Tibyan.
Setidaknya satu ilmu lagi harus ditambahkan kepada ilmu-ilmu
yang disebutkan Ash-Shiddieqy di atas, yaitu ilmu tafsir. Ilmu tafsir merupakan
bagian dari Ulumul Quran. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap
isi dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Ulumul Quran lebih umum
dari ilmu tafsir karena Ulumul Quran ialah segala ilmu-ilmu yang
mempunyai hubungan dengan Alquran. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari
ilmu-ilmu di atas, terutama setelah berkembangnya dengan menampilkan berbagai
metodologi, corak, dan alirannya. Kadang-kadang Ulumul Quran ini juga disebut
Ushul At-Tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat
berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan
Alquran.
D.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Ulumul Qur’an
Sebagai
ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ‘Ulumul Qur’an tidak lahir
sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma
menjadi suatu cabang disiplin ilmu setelah melalui proses pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam hal ini tentu banyak Pribadi dan kondisi yang
membuatnya sebagai cabang ilmu yang
penting untuk memahami kitab suci Al Qur’an. Berikut ini kita lihat bagaimana
alur lahirnya cabang ilmu ini.
1. Masa Sebelum
Penulisan
Di masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an
belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang Arab asli yang
dapat merasakan struktur bahasa Ara yang
tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan
ksulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung
kepada Rasul SAW. Sebagai contoh, ketika turun ayat:
Dan mereka tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman…..”( Q.S Al-An’am:
82).
Para
sahabat bertannya: “ siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi)
dirinya?”. Nabi menafsirkan kata zulm
di sini dengan syirik berdasarkan
ayat:
(sesungguhnya Syirik itu kezaliman yang besar
( Q.S Luqman:13)[15]
Ada
tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa Rasul dan
Sahabat.
a. kondisinya
tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami Al-Qur'an dan rasul dapat menjelaskan
maksudnya.
b. Para
sahabat sedikit sekali yang pandai menulis
c. Adanya
larangan Rasul untuk menuliskan selain Al-Qur’an.
Semuanya
ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa
Nabi maupun di zaman sahabat.[16]
2. Masa
Penulisan Ulumul Qur’an
Di zaman khalifah usman Bin Affan wilayah Islam
bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan
bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan ini menimbulkan
kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di kalangan
muslimin tentang bacaan Al-Qur’an,
selama mereka tidak memiliki sebuah Al-Qur’an yang menjadi standar bagi
bacaan mereka. Sehingga disalinlah dari tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang
disebut Mushaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman
telah meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau Ilmu al- Rasm al- Utsmani.[17]
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu
Qur’an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non Arab,
kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Qur’an. Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali untuk
menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa
Arab dari pencemaran dan menjaga Al-Qur’an dari keteledoran pembacanya.
Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-Qur’an.[18]
Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan
tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran
ilmu-ilmu Al-Qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan,
bukan melalui tulisan atau catatn. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai
persiapan bagi masa pembukuannya. Orang yang paling berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah
khalifah yang empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa
al-Asy’ari, Abdullah Ibn al-Zubair dari kalangan sahabat. Sedangkan dari
kalangan tabi’in ialah Mujahid, Atha’, Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan al-Bashri,
Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di Madinah. Kemudian Malik bin Anas dari
generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama
bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban
al-nuzul, ilmu nasikh danmansukh,
ilmu gharib al- Qur’an dan lainnya.
Pada abad ke 2 H ulumul Qu’an memasuki masa
pembukuan. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir
karena fungsinya sebagai Umm al-‘ulum al-Qur’aniah ( induk ilmu-ilmu
Al-Qur’an). Penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan
Ibn ‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn al-Jarrah.
Pada abad ke-3 terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu
Ibn Jarir al-Thabari. Dia orang pertama membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya
atas lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab
dan istinbath ( penggalian hukum dari
al-Qur’an). Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan
mansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.
Berikut ini dapat kita lihat karya ulama pada abad
ke -3, yaitu:
1. Kitab Asbab
al-Nuzul karangan Ali Ibn Al-Madini
2. Kitab nasikh
dan mansukh, Qiraat dan keutamaan Al-Qur’an disusun oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim
Ibn Salam.
3. Kitab tentang
ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah karya Muhammad Ibn Ayyub al Dharis
Di
abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an. Adapun
Ulama ulumul Qur’an pada masa ini adalah:
1. Abu Bakar
Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib
Ulumul Qur’an.
Isi
kitab ini tentang keutamaan Al-Qur’an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan
mushaf-mushaf, jumlah surah, ayat dan kata –kata Al-Qur’an.
2.
Abu al-Hasan al-‘Asy’ari, kitabnya Al-Mukhtazan fi Ulumul Qur’an
3.
Abu Bakar al-Sijistani, kitabnya Gharib al-Qur’an
4.
Muhammad Ibn Ali al- Adfawi, kitabnya Al- Istighna fi Ulumul Qur’an.[19]
Di
abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta karyanya
adalah:
1.
Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al- Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur’an dan
I’rab Al-Qur’an
2.
Abu Amr al- Dani, kitabnya Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’I dan Al- Muhkam fi
al- Nuqath
3.
Al- Mawardi, kitabnya tentang amtsal Qur’an.[20]
Pada abad ke-6 lahir pula ilmu
Mubhamat al-Qur’an. Abu Qasim Abdur Rahman al-Suahaili mengarang Mubhamat
al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal Al-Qur’an yang maksudnya apa dan
siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun al- Afnan Fi ‘Aja’ib
al-Qur’an dan kitab Al- Mujtaba fi Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an.
Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang
terkenal dengan sebutan Al’Izz mengarang kitab Majaz al-Qur’an. ‘Alam al- Din
al- Sakhawi mengarang tentang Qiraat. Ia menulis kitab Hidayah al- Murtab fi
al- Mutasyabih. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail al- Maqdisi, menlis kitab
Al- Mursyid al- Wajiz fi ma Yata’allaq bi al- Qur’an al- ‘Aziz.
Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama
yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur’an, seperti berikut ini:
1.
Ibn Abi al- Ishba’, kitabnya tentang badai
al-Qur’an.
Ilmu ini membahas berbagai macam
keindahan bahasa dalam al-Qur’an.
2.
Ibn Qayyim, menulis tentang Aqsamul Qur’an
3.
Najamuddin al-Thufi, menulis tentang Hujaj al-Qur’an. Isi kitab ini tentang
bukti-bukti yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menetapkan suatu hukum
4.
Abu Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amstal al-Qur’an
5.
Badruddin al-Zarkasyi, kitanya Al- Burhan fi Ulum Al-Qur’an.
Pada abad ke- 9 muncul beberapa
ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Qur’an, yaitu:
1.
Jalaluddin al- Bulqini, kitabnya Mawaqi’ al- Ulum min Mawaqi’ al- Nujum.
Menurut Al-Suyuthi, Al-Buqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori
penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap.
Sebab dalam kitabnya tercakup 50
macam ilmu Al-Qur’an
2.
Muhammad Ibn Sulaiman al-Kafiaji, kitabnya Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di
dalamnya diterangkan makna tafsir, takwil, al-Qur’an, surat dan ayat. Juga
dijelaskan dalam kitabnya itu tentang syarat-syarat menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
3.
Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir(873 H). Kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Menurut sebagian Ulama. Kitab ini
dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Al-Suyuthi merasa
belum puas, beliau menyusun lagi sebuah kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Di
dalam kitab ini terdapat 80 mcam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan
sistematis. Menurut al- Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para
peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Al-Suyuthi tidak terlihat
munculnya penulis yang memiliki kemampuan seperti kemampuannya. Sehingga
terjadi kevakuman sejak wafatnya Imam Al-Suyuthi sampai dengan akhir abad ke 13
H.[21]
Sejak penghujung abad ke-13 H hingga
abad ke -15, perhatian ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an
kembali bangkit. Kebangkitan ini sejalan dengan kebangkitan modern dalam perkembangan
ilmu-ilmu agama lainnya. Diantara Ulama yang menulis tentang Ulumul Qur’an
ialah:
1.
Syeikh Thahir Al-Jazairi, kitabnya Al-Tibyan
li Ba’dh Al- Mabahits Al-Muta’alliqah bi Al-Qur’an.
2.
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (1332 H) kitabnya, Mahaasin Al-Takwil
3.
Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, kitabnya Manaahil
Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.
4.
Musthafa Shadiq Al-Rafi’, kitabnya I’jaz
Al-Qur’an
5.
Sayyid Quttub, kitabnya Al-Thaswir
al-Fanni Fi Al-Qur’an dan Fi Zilal Al-Qur’an
6.
Muhammad Rasyid, kitabnya Tafsir
al-Mannar
7.
Shubhi al-Shalih, kitabnya Mabaahits Fi
Ulum Al-Qur’an
8.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, kitabnya ilmu-ilmu
Qur’an
9.
Rif’at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, kitabnya Pengantar ilmu Tafsir
10. M. Quraish Shihab,
kitabnya membumikan Al-Qur’an.
Adapun mengenai kapan lahirnya istilah
Ulum Al-Qur’an, terdapat tiga pendapat, yaitu:
1.
Pendapat umum di kalangan para penulis sejarah ‘Ulum Al-Qur’an mengatakan bahwa
lahirnya istilah ‘Ulum Al-Qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7.[22]
2. Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan
Al-Hufi, dengan demikian menurutnya, istilah ini lahir pada permulaan abad
ke-15.[23]
3.
Shubhi Al-Shalih berpendapat lain. Menurutnya, orang yang pertama kali
menggunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an ialah Ibn Al-Mirzaban. Dia berpendapat
seperti ini berlandasan pada penemuannya tentang beberapa kitab yang berbicara
tentang kajian Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Yang
paling awal menurutnya ialah kitab Ibn Al-Mirzaban yang berjudul Al-Hawi Fi
‘Ulum Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-3 H. Hal ini juga disepakti oleh
Hasbi As-shiddieqi.[24]
E. Urgensi Mempelajari Al-Qur’an
Adapun
tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
1.
Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang
dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka
terhadap Al-Qur’an
2.
Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir)
dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan
disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta
kelebihan-kelebihannya.
3.
Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an
4.
Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.[25]
Hubungan
‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
a.
Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
a)
Ulumul Qur’an akan menentukan bagi
seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat
dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak
merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
b)
Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an
seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an
c)
‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka
dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di
dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
b.
Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu,
‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin
tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir
yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an
akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Ada beberapa syarat dari ahli tafsir (
mufassir) yaitu:
1.
Akidahnya bersih
2.
Tidak mengikuti hawa nafsu
3.
Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir
4.
Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits
5.
Mufassir mengetahui dasar-dasar agama
6.
Mufassir mengerti ushul fiqh
7.
Mufassir menguasai bahasa Arab
F.
Tujuan
Mempelajari Ulumul Qur’an
Tujuan utama dari mempelajari Ulumul Qur’an adalah untuk memahami kalam Allah dalam berbagai
aspek pembahasannya,
baik dari aspek turunnya,
pengumpulan dan penulisannya,
maupun dari aspek bacaan dan penafsirannya, serta tidak
ketinggalan pula aspek kandungannya itu sendiri.
Yang jelas dengan memahami Ulumul Qur’an, maka akan lebih mudah memahami pesan-pesan Al-qur’an yang diturunkan Allah kepada nabi muhammad
S.A.W.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat
dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas segala hal yang
berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang disandarkan kepada Al-Qur’an
sebagai penunjang untuk memahami Al-Qur’an secara luas dan mendalam. Perlu kita
pelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman hidup dalam rangka meraih kesuksesan
di dunia dan akhirat.Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di siplin ilmu
ini belum dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul
akan sesuatu yang tidak dipahami. Namun hal ini berkembang, dimana wilayah
Islam telah luas dan banyak orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam, tentunya
mereka mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Lahirlah
inisiatif dari Usman untuk menyalin Al-Qur’an kembali dari Salinan
Al-Qur’an yang pernah ditulis di masa
Nabi hidup dan diperbanyak. Tindakan ini disusul dengan berbagai kegiatan para
sahabat dan para tabi’in untuk menggali berbagai ilmu dalam Al-Qur’an, sehingga
lahirlah berbagai kitab. Akhirnya pada abad ke-2 H ‘Ulumul Qur’an mulai
dibukukan. Dengan kitab-kitab yang sudah ditulis tersebut semakin meramaikan
pembahasan para Ulama tentang Al-Qur’an.Imam As-Suyuthi adalah salah satu Ulama
‘Ulumul Qur’an yang berpengaruh, karena kitabnya menjadi pegangan bagi para
peneliti dan penulis dalam ilmu ini.
REFERENSI
Anwar,Abu. 2002. Ulumul Qur’an.Pekanbaru:Amzah
Anwar,Rosihan.2006.UlumulQur’an.Bandung:Pustaka
Setia
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Nasserdaulay.blogspot.co.id/2013/05/ulumul-quran-pengerian-dan
sejarah.html.Bayodaulay.17.05.2013./20.02.2016
Ramli, Abdul Wahid.2002. Ulumul
Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada
[8]
Ibid.,
[9]Muhammad
Abdul ‘Azim, Manahil al- ‘Irfan fi ulum
al- Qur’an, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 27
[10]
Manna’
Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qu’an.
( Beirut: Al- Syarikah al-Muttahidah li al-tauzi’, 1973), h. 15
[13]Ahmad
Syadali, Ulumul Qur’an, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), h. 11
[14]Ramli
Abdul Wahid, op.cit., h8
[16]Shubhi
Al-Shalih, Mabaahits fi Ulumul Qur’an,(
Beirut: Dar al-‘ilm al-Malayin, 1977), h.120
[17]
Muhammad Abdul ‘Azim Al-Zarqani, op.cit., h. 30
[18]Kahar
Mansyur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.32
[19]
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973. H.14
[20]
Ibid.
[21]Ramli
Abdul Wahid, op.cit., h.20
[22]Muhammad
Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, 0p.cit.,
h.34
[24]T.M.
Hasbi As-Shiddiqie, op.cit., h.16
[25]Muhammad
‘Ali Al-Shabuni, loc.cit, h.18