BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur'an, Hadits, dan ijma’ dan siapa-siapa
yang berhak menerima harta waris dari orang yang meninggal dan bagian tiap-tiap
ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun
demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab
timbulnya keretakan hubungan keluarga.
Ternyata, disamping
karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan
oleh kekurangtahuan ahli waris akan
hakikat waris. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima waris dari orang
yang meninggalkannya, ada beberapa orang yang berhak menerima harta warisan,
dan ahli waris ada beberapa macam, dilihat dari hubungannya dengan muwaris
adakalanya dilihat dari perolehan bagian dari ahli waris. Dalam ilmu mawaris terdapat dua
macam pewaris yaitu pewaris ashhabul furudh (bagian yang pasti mendapat waris)
dan ashobah (belum pasti mendapat waris).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ashhab al-Furud serta
bagian masing-masingnya
2. Apa pengertian ashabah serta bagian
masig-masingnya
3. Apa pengertian hijab dan
macam-macamnya
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan
bagian masing-masing dari ashhab al-Furud
2. Untuk mengetahui pengertian dan
bagian masing-masing dari ashabah
3. Untuk mengetahui pengertian hijab
dan macam-macamnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ashhab al-Furudh
Ashhabul furudh atau Dzaw Al-Furudh adalah golongan
keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan
tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa dzawrul al-furudh
secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentun mengatur ahli waris
terdapat dalam Alqur’an,Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Ijtihad.
Bagi umat islam, melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh
nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu berdasarkan hukum
waris islam bersifat wajib[1].
(Otje Salman dan Musthafa Haffas,2006:3)
a.
Dari laki-laki
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki
(dari anak laki-laki kebawah)
- Ayah
- Kakek ke atas
- Saudara laki-laki
(seayah dan seibu)
- Paman
- Suami
- Orang laki-laki
yan memerdekakan budak
b.
Dari perempuan
- Anak perempuan
- Ibu
- Nenek ke atas
- Saudara perempuan
yang seayah se ibu
- Istri
- Perempuan yang
emerdekaan budak
2.
Pembagian waris menurut Al-Qur’an
Jumlah
bagian yang ditentukan Al-Qur’an ada enam macam yaitu setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seper enam (1/6).
Yang termasuk
ashbabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima yaitu:
a.
Ashhabul furudh yang berhak menerima
setengah (Nishfu) harta
Ashhabul furudh yang berhak
menerima setengah dari harta waris peninggalan waris ada lima, satu golongan
laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh ialah
suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan saudara perempuan seayah.[3]
Masing-masing ahli waris tersebut diikat oleh syarat-syarat berikut:
·
Seorang suami yang mendapatkan harta
warisan seperdua dengan satu syarat, yaitu apabila muwarits tidak
mempunyai ahli waris bunuriyah, baik dari suami tersebut atau dari suami
yang lain. [4]
·
Seorang anak perempuan mendapat bagia
setengah, dengan syarat, yaitu: Tidak mewarisi bersama dengan saudaranya yang
mendapatkan ashabah, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan itu
harus anak tunggal perempuan itu
harus anak tunggal.
·
Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki akan mendapat setengah warisan dengan syarat, yaitu: (1) apabila ia
tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki), (2) apabila hanya seorang (yakni anak perempuan dari keturunan anak
laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal),(3) apabila pewaris tidak mempunyai
anak perempuan ataupun anak laki-laki.
·
Saudara kandung perempuan akan
mendapat bagian setengah, dngan syarat: (1) ia tidak mempunyai saudara kandung
lai-laki,(2) ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan), (3)
pewariis tidak mempunyai ayah / kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan.
·
Saudara perempuan seayah akan
mendapat bagian setengah, dengan syarat: (1)apabila ia tidak mendapat sudara
laki-laki, (2)apabila ia hanya seorang diri, (3)pewaris tidak mempunyai saudara
kandung perempuan, (4)pewaris tudak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula
anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.[5]
b.
Asshabul furudh yang berhak menerima
seperempat (Rubu’)
Rubu’(seperempat) adalah fardhu
bagi dua orang waris, yaitu suami dan istri. Si suami berhak menerima
seperempat jika ada anak sari istri yang meninggal itu, baik anak dari suami
itu sendiri ataupun orang lain. Dan si istri mendapat seperempat apabila tidak
ada anak dari suaminya yang meninggal.[6]
c.
Ashhabul furudh yang berhak menerima
seperdelapan (Tsumun)
Tsumun (seperdelapan)
adalah hak waris, yaitu istri apabila si suami yag meninggal, meninggalkan anak
baik dari istri itu ataupun dari istri lain.
d.
Ashhabul furudh yang berhak menerima
dua pertiga (Tsulutsani)
Yang berhak menerima dua per tiga yaitu:[7]
·
Dua anak perempuan (kandung) atau
lebih
·
Dua orang cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki
·
Dua
saudara kandung perempuan (atau lebih)
·
Dua saudara perempuan seayah (atau
lebih)
e.
Ashhabul furudh yang berhak menerima
sepertiga (Tsuluts)
Tsuluts (sepertiga) adalah fardhu yang
ditetapkan untu dua orang waris, yaitu:
a.
Ibu, dengan syarat orang yang
meninggal itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa
saudara, baik saudara sekandung maupun seayah.
b.
Dua orang saudara seibu, baik lelaki
maupun perempuan, baik merek semuanya perempuan ataupun ada yang leleki dan ada
yang perempuan. Dua orang saudara dan seterusnya seibu, mendapat sepertiga
harta.[8]
f.
Ashhabul furudh yang berhak menerima
seperenam (Sudus)
·
Ayah, jika yang meninggal itu
mempunyai anak.
·
Kakek sejati, jika yang meninggal
itu, meninggalkan anak, tidak meninggalkan ayah.
·
Ibu, jika yang meninggal itu,
meninggalkan anak atau dua orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan
saudara perempuan, baik sekandung atau seayah atau
·
Nenek sejati, jika tidak ada
penghalang waris (ibu)
·
Cucu perempuan dari anak lelaki,
seorang saja atau lebih bersama seorang anak perempuan kandung.
·
Saudara perempuan seayah, seorang
ataupun lebih bersama seorang saudara perempuan sekandung.
·
Seorang anak ibu (saudara ibu), baik
leleki ataupun perempuan.
B.
Ashabah
1.
Pengertian
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang tidak ditentuka bagiannya kadangkala
mendapat bagian sisa (kalau ada ashhabul furudh), kadangkala tidak menerima
sama sekali (jika tidak ada sisa), tetapi kadang-kadang menerima seluruh harta
(kalau ada ashhabul furudh).
2.
Macam-macam ashabah
a.
Ashobah bin nafsi
Yaitu kelompok ashobah dengan tanpa ditarik oleh waris
ashoah yang lain atau tidak bersama-sama dengan ahli waris lain sudah menjadi
ahli waris ashobah.[9]
Ashobah ini ada empat jihat yaitu:
·
Jihat Bunuwah (pertalian anak), yaitu anak laki-laki
terus ke bawah.
·
Jihat Ubuwah (pertalian orang tua), yaitu ayah, kakek
terus ke atas.
·
Jihat Ukhuwah (pertalian saudara), yaitu saudara
laki-laki sekandung dan saudara laki-laki se-ayah terus ke bawah.
·
Jihat Umumah (pertalian paman), yaitu paman sekandung
dan paman se-ayah, anak laki-laki paman sekandung dan se-ayah terus ke
bawah.Untuk penetapan kewarisan ini, urutan yang paling atas didahulukan
daripada urutan bawahnya, demikian seterusnya.[10]
b. Ashobah ‘al ghairi
Yaitu kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi “ashobah”
dan untuk bersama-sama menerima ushubah,yang hanya terbatas pada ahli
waris yang semuanya wanita yaitu:
·
Anak perempuan yang mewarisi bersama
dengan anak laki-laki
·
Cucu perempuan yang mewarisi bersama
cucu laki-laki
·
Saudara perempuan sekandung atau
sebapak yang mewarisi bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau sebapak.
·
Saudara perempuan seayah
Dengan demikian Ashobah maa’al ghairi tidak akan terwujud
terkecuali dengan persyaratan berikut:
Pertama,haruslah wanita
yang tergolong ashhab al furudh. Bila wanita tersebut bukan dari
ashhabul furudh, dia tidak akan menjadi ‘ashabah ma’al ghairi.Kedua,laki-laki
menjadi ‘ashabah (penganut) harus yang sederajat.Ketiga,laki-laki
yang menjadi penganut harus sama kuat denga ahli waris perempuan ashhabul
furudh.
c.
Ashhabah ma’al ghairi
Ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan
yang lain untuk menjadi ashobah. Misalnya saudari kandung atau seayah
karena sama-sama putri. Asshobah ma’al ghairi
hanya terbatas pada dua golongan dari perempuan, yaitu:
·
Saudara perempuan sekandung atau
saudara-saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki.
·
Saudara perempuan seayah atau
saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa dari peninggalan sesudah
furudh.(syayyid Sabiq, 1987:238)
Jika seorang saudara perempuan sekandung menjadi ‘ashobah ma’al
ghairi, ia menjadi seperti saudara laki-laki sekandung yang dapat menghijab
hak waris saudara seayah , baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain
itu, dapat pula menghijab hak waris orang-orang sesudahnya (yang lebih rendah
derajatnya), seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman sekandung dan
paman seayah. Begitu pula, saudara perempuan seayah jika menjadi ashobah
ma’al ghairi ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, kekutannya
sama seperti saudara laki-laki seayah yang dapat menghijab keturunan saudaranya
dan seterusnya.[11]
C.
Hijab
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau
penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli
waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna
terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat.[12]Ahli waris yang
terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang disebut
dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi akibatnya, hijab dibagi 2
macam:[13]
a.
Hijab Nuqson
Hijab Nuqson yaitu
menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti
suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama anak baik laki-laki
maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima
bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara 2 orang atau lebih,
terkurangi bagianya menjadi 1/6.
Adapun tabel secara rinci
hajib-mahjub dan perubahanya dalam hajib nuqson.
NO
|
Ali Waris
|
Bagian
|
Terkurangi Oleh
|
Menjadi
|
01
|
Ibu
|
1/3
1/3
|
Anakatau cucu 2 saudara atau lebih
|
1/6
1/6
|
02
|
Bapak
|
‘ashabah
‘ashabah
|
Anak laki-laki
Anak perempuan
|
1/6
1/6 + ‘ashabah
|
03
|
Istri
|
¼
|
Anak atau cucu
|
1/8
|
04
|
Suami
|
½
|
Anak atau cucu
|
¼
|
05
|
Saudara(pr). Skd/seayah _”_ 2 +
|
½
2/3
|
Anak atau cucu perempuan _”_
|
‘amg
‘amg
|
06
|
Cucu (pr) grs. Laki-laki
|
½
|
Seorang anak perempuan
|
1/6
|
07
|
Saudara (pr) seayah
|
½
|
Seorang saudara (pr) skd
|
1/6
|
Keterangan: Ahli waris
nenek apabila tidak mahjub oleh bapak atau ibu, mendapat bagian 1/6
(kedudukanya hampir sama dengan ibu). Demikan juga kakek jika tidak ada bapak,
kedudukanya sama dengan bapak, kecuali dalam masalah al-jadd ma’a al ikhwah.
2.
Hijab Hirman
Yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak
memperoleh sama sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain. Contoh, seorang
cucu akan terhijab jika si mayat mempunyai anak laki-laki.[14]
Ahli waris yang terhalang secara total adalah sebagai
berikut :
1) Kakek, terhalang oleh: Ayah.
2) Nenek dari ibu terhalang oleh: Ibu.
3) Nenek dari ayah terhalang oleh: Ayah dan Ibu.
4) Cucu laki-laki garis laki-laki
terhalang oleh: Anak laki-laki.
5) Cucu perempuan garis laki-laki terhalang
oleh: Anak laki-laki dan Anak perempuan dua orang atau lebih.
6) Saudara sekandung
(laki-laki/perempuan) terhalang oleh: Anak
laki-laki,Cucu laki-laki dan Ayah.
7) Saudara seayah
(laki-laki/perempuuan) terhalang oleh: Anak
laki-laki, Cucu laki-laki, Ayah, Saudara
sekandung laki-laki dan Saudara sekandung perempuan bersama anak/cucu
perempuan.
8) Saudara seibu (laki-laki/perempuan)
terhalang oleh: Anak laki-laki dan anak perempuan, Cucu laki-laki dan cucu
perempuan, Ayah dan Kakek.
9) Anak laki-laki saudara laki-laki
sekandung terhalang oleh: Anak laki-laki, Cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau
seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al
ghair.
10) Anak laki-laki saudara seayah
terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau
kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung, Saudara perempuan sekandung atau seayah
yang menerima ashabah ma’al ghair.
11) Paman sekandung terhalang oleh: Anak
atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung
atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair.
12) Paman seayah terhalang oleh: Anak
atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung
atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman sekandung.
13) Anak laki-laki paman sekandung
terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki
sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara
perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman sekandung
atau seayah.
14) Anak laki-laki paman seayah
terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki
sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara
perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman
sekandung atau seayah, Anak laki-laki paman sekandung.
BAB
II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ashhabul furudh
atau Dzaw Al-Furudh adalah golongan keluarga tertentu yang ditetpkan menerima
bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa
dzawrul al-furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentun
mengatur ahli waris terdapat dalam Alqur’an,Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Ijtihad.
Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan
sisa harta dari peninggalan simayit setelah ashabul
furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran.
Singkatnya, yang dimaksud dengan ashabah
adalah keluarga laki-laki yang dekat dari pihak ayah. Dalil mengenai ashabah terdapat dalam surah An-nisa’
ayat 176.
Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau
penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah hijab digunakan untuk
menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya yang kadang-kadang atau
seterusnya terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang menghalangi
disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Keadaan
menghalangi disebut hijab.
B.
Saran
Dengan
dijabarkannya mengenai warisan yang sudah pasti dan yang belum pasti, semoga
dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi dosen
pengampu dan mahasiswa. Adapaun dalam pembuatan makalah ini kurang pas atau
masih kurang kami menerima kritik dan saran yang membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Saebani. Fiqih Mawaris cet 1(Bandung:Pustaka
Setia,2009)
Ahmad, Sunarto. Kitab Fathul Ghorib Jilid 2 (Surabaya:Al- Ash-Shabuni,
Hidayah,1992)
Muhammad Ali. Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah
‘Alaa
Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema
Insani, 1995)
Ghofur, Anshor. Hukum Kewarisan Islam cet.2(Yogyakarta:Nuansa
Aksara,2005)
Lubis,
Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris
Islam. Jakarta: Sinar Garfika.
Shiddieqy Ash , Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris,(Semarang:PT
Pustaka
Rizki
Putra,2012)
[1]
Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fiqih Mawaris cet 1(Bandung:Pustaka
Setia,2009),hlm.135-136
[2]
Bahasa Ahmad Sunarto, Kitab Fathul Ghorib Jilid 2
(Surabaya:Al-Hidayah,1992),hlm 3-4
[3]Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’
al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.46
[5]Muhammad
Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’
al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.47-48
[6]Ash
Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris,(Semarang:PT Pustaka Rizki
Putra,2012)hlm.58
[7]
Ibid.,hlm.50-51
[8]
Ibid.,hlm.59
[9]Dr.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam cet.2(Yogyakarta:Nuansa
Aksara,2005)
[11]
Ibid.,Opcit,hlm.166-167
[14] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris
Islam (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar