Jumat, 20 Januari 2017

MAKALAH FIKIH ASHABAH AL FURUD DAN HIJAB



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur'an, Hadits, dan ijma’ dan siapa-siapa yang berhak menerima harta waris dari orang yang meninggal dan bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga.
Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli  waris akan hakikat waris. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima waris dari orang yang meninggalkannya, ada beberapa orang yang berhak menerima harta warisan, dan ahli waris ada beberapa macam, dilihat dari hubungannya dengan muwaris adakalanya dilihat dari perolehan bagian dari ahli waris. Dalam ilmu mawaris terdapat dua macam pewaris yaitu pewaris ashhabul furudh (bagian yang pasti mendapat waris) dan ashobah (belum pasti mendapat waris).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ashhab al-Furud serta bagian masing-masingnya
2.      Apa pengertian ashabah serta bagian masig-masingnya
3.      Apa pengertian hijab dan macam-macamnya
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dan bagian masing-masing dari ashhab al-Furud
2.      Untuk mengetahui pengertian dan bagian masing-masing dari ashabah
3.      Untuk mengetahui pengertian hijab dan macam-macamnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ashhab al-Furudh
Ashhabul furudh atau Dzaw Al-Furudh adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa dzawrul al-furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentun mengatur ahli waris terdapat dalam Alqur’an,Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Ijtihad.
Bagi umat islam, melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu berdasarkan hukum waris islam bersifat wajib[1]. (Otje Salman dan Musthafa Haffas,2006:3)
1.   Pembagian warisan[2]
a.       Dari laki-laki
-          Anak laki-laki
-          Cucu laki-laki (dari anak laki-laki kebawah)
-          Ayah
-          Kakek ke atas
-          Saudara laki-laki (seayah dan seibu)
-          Paman
-          Suami
-          Orang laki-laki yan memerdekakan budak
b.      Dari perempuan     
-          Anak perempuan
-          Ibu
-          Nenek ke atas
-          Saudara perempuan yang seayah se ibu
-          Istri
-          Perempuan yang emerdekaan budak
2.   Pembagian waris menurut Al-Qur’an
            Jumlah bagian yang ditentukan Al-Qur’an ada enam macam yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seper enam (1/6).
                 Yang termasuk ashbabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima yaitu:
a.       Ashhabul furudh yang berhak menerima setengah (Nishfu) harta
Ashhabul furudh yang berhak menerima setengah dari harta waris peninggalan waris ada lima, satu golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.[3]
Masing-masing ahli waris tersebut diikat oleh syarat-syarat berikut:
·         Seorang suami yang mendapatkan harta warisan seperdua dengan satu syarat, yaitu apabila muwarits tidak mempunyai ahli waris bunuriyah, baik dari suami tersebut atau dari suami yang lain. [4]
·         Seorang anak perempuan mendapat bagia setengah, dengan syarat, yaitu: Tidak mewarisi bersama dengan saudaranya yang mendapatkan ashabah, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan itu harus  anak tunggal perempuan itu harus  anak tunggal.
·         Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat setengah warisan dengan syarat, yaitu: (1) apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki), (2) apabila hanya seorang (yakni anak perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal),(3) apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
·         Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian setengah, dngan syarat: (1) ia tidak mempunyai saudara kandung lai-laki,(2) ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan), (3) pewariis tidak mempunyai ayah / kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan.
·         Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian setengah, dengan syarat: (1)apabila ia tidak mendapat sudara laki-laki, (2)apabila ia hanya seorang diri, (3)pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan, (4)pewaris tudak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.[5]

b.      Asshabul furudh yang berhak menerima seperempat (Rubu’)
Rubu’(seperempat) adalah fardhu bagi dua orang waris, yaitu suami dan istri. Si suami berhak menerima seperempat jika ada anak sari istri yang meninggal itu, baik anak dari suami itu sendiri ataupun orang lain. Dan si istri mendapat seperempat apabila tidak ada anak dari suaminya yang meninggal.[6]
c.       Ashhabul furudh yang berhak menerima seperdelapan (Tsumun)
Tsumun (seperdelapan) adalah hak waris, yaitu istri apabila si suami yag meninggal, meninggalkan anak baik dari istri itu ataupun dari istri lain.
d.      Ashhabul furudh yang berhak menerima dua pertiga (Tsulutsani)
Yang berhak menerima dua per tiga yaitu:[7]
·                   Dua anak perempuan (kandung) atau lebih
·                   Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
·                   Dua  saudara kandung perempuan (atau lebih)
·                   Dua saudara perempuan seayah (atau lebih)
e.       Ashhabul furudh yang berhak menerima sepertiga (Tsuluts)
Tsuluts (sepertiga) adalah fardhu yang ditetapkan untu dua orang waris, yaitu:
a.                 Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara, baik saudara sekandung maupun seayah.
b.                 Dua orang saudara seibu, baik lelaki maupun perempuan, baik merek semuanya perempuan ataupun ada yang leleki dan ada yang perempuan. Dua orang saudara dan seterusnya seibu, mendapat sepertiga harta.[8]
f.       Ashhabul furudh yang berhak menerima seperenam (Sudus)
·         Ayah, jika yang meninggal itu mempunyai anak.
·         Kakek sejati, jika yang meninggal itu, meninggalkan anak, tidak meninggalkan ayah.
·         Ibu, jika yang meninggal itu, meninggalkan anak atau dua orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara perempuan, baik sekandung atau seayah atau
·         Nenek sejati, jika tidak ada penghalang waris (ibu)
·         Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih bersama seorang anak perempuan kandung.
·         Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama seorang saudara perempuan sekandung.
·         Seorang anak ibu (saudara ibu), baik leleki ataupun perempuan.

B.     Ashabah
1.      Pengertian
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang tidak ditentuka bagiannya kadangkala mendapat bagian sisa (kalau ada ashhabul furudh), kadangkala tidak menerima sama sekali (jika tidak ada sisa), tetapi kadang-kadang menerima seluruh harta (kalau ada ashhabul furudh).
2.      Macam-macam ashabah
a.       Ashobah bin nafsi
Yaitu kelompok ashobah dengan tanpa ditarik oleh waris ashoah yang lain atau tidak bersama-sama dengan ahli waris lain sudah menjadi ahli waris ashobah.[9] Ashobah ini ada empat jihat yaitu:
·         Jihat Bunuwah (pertalian anak), yaitu anak laki-laki terus ke bawah.
·         Jihat Ubuwah (pertalian orang tua), yaitu ayah, kakek terus ke atas.
·         Jihat Ukhuwah (pertalian saudara), yaitu saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki se-ayah terus ke bawah.
·         Jihat Umumah (pertalian paman), yaitu paman sekandung dan paman se-ayah, anak laki-laki paman sekandung dan se-ayah terus ke bawah.Untuk penetapan kewarisan ini, urutan yang paling atas didahulukan daripada urutan bawahnya, demikian seterusnya.[10]

b.      Ashobah ‘al ghairi
Yaitu kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi “ashobah” dan untuk bersama-sama menerima ushubah,yang hanya terbatas pada ahli waris yang semuanya wanita yaitu:
·         Anak perempuan yang mewarisi bersama dengan anak laki-laki
·         Cucu perempuan yang mewarisi bersama cucu laki-laki
·         Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang mewarisi bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau sebapak.
·         Saudara perempuan seayah   
Dengan demikian Ashobah maa’al ghairi tidak akan terwujud terkecuali dengan persyaratan berikut:
Pertama,haruslah wanita yang tergolong ashhab al furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, dia tidak akan menjadi ‘ashabah ma’al ghairi.Kedua,laki-laki menjadi ‘ashabah (penganut) harus yang sederajat.Ketiga,laki-laki yang menjadi penganut harus sama kuat denga ahli waris perempuan ashhabul furudh.
c.       Ashhabah ma’al ghairi
Ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan yang lain untuk menjadi ashobah. Misalnya saudari kandung atau seayah karena sama-sama putri. Asshobah ma’al ghairi  hanya terbatas pada dua golongan dari perempuan, yaitu:
·         Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
·         Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa dari peninggalan sesudah furudh.(syayyid Sabiq, 1987:238)
Jika seorang saudara perempuan sekandung menjadi ‘ashobah ma’al ghairi, ia menjadi seperti saudara laki-laki sekandung yang dapat menghijab hak waris saudara seayah , baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menghijab hak waris orang-orang sesudahnya (yang lebih rendah derajatnya), seperti anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman sekandung dan paman seayah. Begitu pula, saudara perempuan seayah jika menjadi ashobah ma’al ghairi ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, kekutannya sama seperti saudara laki-laki seayah yang dapat menghijab keturunan saudaranya dan seterusnya.[11]
C.    Hijab
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat.[12]Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.

Hijab dilihat dari segi akibatnya, hijab dibagi 2 macam:[13]
a.        Hijab Nuqson
      Hijab Nuqson yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara 2 orang atau lebih, terkurangi bagianya menjadi 1/6.
Adapun tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahanya dalam hajib nuqson.
NO
Ali Waris
Bagian
Terkurangi Oleh
Menjadi
01
Ibu
1/3
1/3
Anakatau cucu 2 saudara atau lebih
1/6
1/6
02
Bapak
‘ashabah
‘ashabah
Anak laki-laki
Anak perempuan
1/6
1/6 + ‘ashabah
03
Istri
¼
Anak atau cucu
1/8
04
Suami
½
Anak atau cucu
¼
05
Saudara(pr). Skd/seayah _”_ 2 +
½
2/3
Anak atau cucu perempuan _”_
‘amg
‘amg
06
Cucu (pr) grs. Laki-laki
½
Seorang anak perempuan
1/6
07
Saudara (pr) seayah
½
Seorang saudara (pr) skd
1/6

Keterangan: Ahli waris nenek apabila tidak mahjub oleh bapak atau ibu, mendapat bagian 1/6 (kedudukanya hampir sama dengan ibu). Demikan juga kakek jika tidak ada bapak, kedudukanya sama dengan bapak, kecuali dalam masalah al-jadd ma’a al ikhwah.
2.    Hijab Hirman
Yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak memperoleh sama sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain. Contoh, seorang cucu akan terhijab jika si mayat mempunyai anak laki-laki.[14]
Ahli waris  yang terhalang secara total adalah sebagai berikut :
1)   Kakek, terhalang oleh: Ayah.
2)   Nenek dari ibu terhalang oleh: Ibu.
3)   Nenek dari ayah terhalang oleh:  Ayah dan Ibu.
4)   Cucu laki-laki garis laki-laki terhalang oleh: Anak laki-laki.
5)   Cucu perempuan garis laki-laki terhalang oleh: Anak laki-laki dan Anak perempuan dua orang atau lebih.
6)   Saudara sekandung (laki-laki/perempuan) terhalang oleh: Anak laki-laki,Cucu laki-laki dan Ayah.
7)   Saudara seayah (laki-laki/perempuuan) terhalang oleh:  Anak laki-laki, Cucu laki-laki, Ayah,  Saudara sekandung laki-laki dan Saudara sekandung perempuan bersama anak/cucu perempuan.
8)   Saudara seibu (laki-laki/perempuan) terhalang oleh: Anak laki-laki dan anak perempuan, Cucu laki-laki dan cucu perempuan, Ayah dan Kakek.
9)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung terhalang oleh: Anak laki-laki, Cucu laki-laki, Ayah atau kakek,  Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair.
10)    Anak laki-laki saudara seayah terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair.
11)    Paman sekandung terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair.
12)    Paman seayah terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman sekandung.
13)    Anak laki-laki paman sekandung terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman sekandung atau seayah.
14)    Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh: Anak atau cucu laki-laki, Ayah atau kakek, Saudara laki-laki sekandung atau seayah, Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima ashabah ma’al ghair, Paman sekandung atau seayah, Anak laki-laki paman sekandung.




BAB II

PENUTUP
A.    Kesimpulan

Ashhabul furudh atau Dzaw Al-Furudh adalah golongan keluarga tertentu yang ditetpkan menerima bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Kalangan fuqaha sependapat bahwa dzawrul al-furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya. Ketentun mengatur ahli waris terdapat dalam Alqur’an,Al-Hadis, Al-Ijma’, dan Ijtihad.
Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari peninggalan simayit setelah ashabul furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran.  Singkatnya, yang dimaksud dengan ashabah adalah keluarga laki-laki yang dekat dari pihak ayah. Dalil mengenai ashabah terdapat dalam surah An-nisa’ ayat 176.
Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah hijab  digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan kerabatnya yang kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Keadaan menghalangi disebut hijab.

B.   Saran
Dengan dijabarkannya mengenai warisan yang sudah pasti dan yang belum pasti, semoga dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi dosen pengampu dan mahasiswa. Adapaun dalam pembuatan makalah ini kurang pas atau masih kurang kami menerima kritik dan saran yang membacanya.







DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Saebani. Fiqih Mawaris cet 1(Bandung:Pustaka Setia,2009)
Ahmad, Sunarto.  Kitab Fathul Ghorib Jilid 2 (Surabaya:Al- Ash-Shabuni,
            Hidayah,1992)
Muhammad Ali. Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah
            ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995)
Ghofur, Anshor. Hukum Kewarisan Islam cet.2(Yogyakarta:Nuansa   
            Aksara,2005)
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris         
           Islam. Jakarta: Sinar Garfika.
Shiddieqy Ash , Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris,(Semarang:PT Pustaka
            Rizki Putra,2012)


[1] Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fiqih Mawaris cet 1(Bandung:Pustaka Setia,2009),hlm.135-136
[2] Bahasa Ahmad Sunarto, Kitab Fathul Ghorib Jilid 2 (Surabaya:Al-Hidayah,1992),hlm 3-4
[3]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.46
[4]Ibid.,142

[5]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Waaarits Fisy Syarii’ati; Islaamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah(Jakarta:Gema Insani, 1995),hlm.47-48
[6]Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris,(Semarang:PT Pustaka Rizki Putra,2012)hlm.58
[7] Ibid.,hlm.50-51
[8] Ibid.,hlm.59
[9]Dr. Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam cet.2(Yogyakarta:Nuansa Aksara,2005)
[11] Ibid.,Opcit,hlm.166-167
[12] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Raja Garfindo Persada, Jakarta:2000, hal.89
[13]] Op.cit hlm: 90
[14] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), hlm. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersinarlah

Assalamualaikum sahabat sholihah semua, hari ini aku ingin menceritakan sekilas tentang kisah hidup yang mungkin diantara kita merasakan hal...