BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan
ini, kita dituntut dengan kewajiban-kewajiban agama yang selalu mengikat kita
untuk mengerjakan kewajiban tersebut, untuk melakukan kewajiban tersebut tentu
kita harus mempelajarinya
dahulu sebelum mengerjakan hal tersebut. Dan untuk mempelajari hal tersebut, kita harus
memulainya sejak di bangku sekolah. Untuk meningkatkan kualitas agama dan kualitas moral yang
baik tentu seorang perserta didik harus ditunjang dengan pendidikan agama islam
yang luas dan mendalam. Karena dalam kenyataan yang kita hadapi sekarang,
pendidikan agama justru mengalami kemerosotan di dalam dunia pendidikan,
sehingga banyak muncul peserta didik yang akhlaknya tidak baik dan bahkan tidak
bermoral. Hal tersebut didasari karena kurangnya pengetahuan peserta didik
tentang larangan-larangan agama dan hukum-hukum tentang agama. Untuk
mengurangi dampak negatif dari hal tersebut, tentu sarana pendidikan harus
dapat meningkatkan kualitas agama dan lebih menekankan pendidikan agama
terhadap peserta didik.
Di Perguruan Tinggi Umum (PTU),
pendidikan agama termasuk kategori Matakuliah Umum (MKU) seperti Bahasa
Indonesia, IAD/IBD/ISD, yang biasanya dianggap kurang penting jika dibandingkan
dengan Matakuliah Jurusan/Program Studi. Hal Ini berbanding terbalik
dengan di IAIN. Sampai saat ini, IAIN tampaknya masih sibuk dengan
persoalan ilmu-ilmu agama Islam secara umum dan di Fakultas Tarbiyah yang
membidangi pendidikan Islam, mereka tampaknya masih sibuk dengan persoalan
pendidikan Islam secara umum terutama di pesantren dan madrasah sehingga
pendidikan agama Islam di sekolah umum, apalagi di perguruan tinggi umum
tersisihkan. Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI di PTU, menjadi tak
terbina sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan. Ada atau tidaknya
PAI di PTU seolah-olah tidak memberi dampak apa-apa bagi
perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi). Keberhasilan PAI di PTU sepenuhnya
tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di PTU
itu sendiri. Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan
mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada
diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan
menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal
saja.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum ?
2. Apa Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI ?
3. Apa Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI
di Sekolahan Umum ?
4. Bagaimana Karakteristik Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam ?
5. Bagaimana
Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum ?
6. Bagaimana Persoalan Pendidikan Agama
Di Perguruan Tinggi Umum ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian PAI Di Sekolah Umum
2. Untuk
Mengetahui Landasan Yuridis Pelaksanaan
PAI
3. Untuk
Mengetahui Masalah Dan Kendala Pelaksanaan
PAI di Sekolahan Umum
4. Untuk
Mengetahui Karakteristik
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
5. Untuk
Mengetahui Posisi PAI dalam Perguruan Tinggi Umum
6.
Untuk Mengetahui Persoalan PAI Di Perguruan Tinggi Umum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiaapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati
penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3 : 2002).
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan
tentang pendidikan agama seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal
Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekan. Pendidikan agama lebih
ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan
nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons
kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa
dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian
tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola
pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku
pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar
dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga
yang muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi
ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara
keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak,
fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup
Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan dan
keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia,
makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha
sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk
meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran
agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]
B.
Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
Sebagai bangsa indonesia kita harus
mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang
berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan pada pancasila dan UUD
45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional tersebut dikelompokan
kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang
dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat peserta didik,
keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran.
Dengan demikian, sisitem pendidikan
khususnya islam, secara macro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan
kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan pendekatan sistematik, sehingga
dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari
jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau perguruan tinggi yang harus
memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu pengetahuan dan keteknologian yang
makin optimal, yang mana tiap tingkat,
keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi
orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Hakikat pembangunan nasional adalah
membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat
indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam
rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena
pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang,
selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi
pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
Pendidikan agama wajib
dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab
pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini
bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk
menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya
PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan
berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut
intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan
fasilitas yang berbeda.
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari
perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal
tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Dasar ideal,
yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Dasar
structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2,
yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3. Dasar
operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian
dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983,
diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah
formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]
C.
Masalah Dan Kendala Pelaksanaan
PAI di Sekolahan Umum
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama
yang berlangsung disekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori
menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan disebabkan karena praktek
pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran
nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-voletif,
yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat
terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan
praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktek pendidikan agama
berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak membentuk pribadi-pribadi
bermoral, padahal intisari dri pendiikan agama adalah pendidikan moral.[4]
Dalam pelaksanaan progam pendidikan
agama diberbagai sekolah umum, belum seperti yang kita harapkan, karena
berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan
non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang
suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal fasilitas dasarnya
telah disediakan oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR, pengaturan perundangan
lainya, serta berbagai proyek pembangunan sektor agama dan pendidikan.
Beberapa faktor yang menghambat
pendidikan agama :
1. Faktor-faktor
eksternal
a. Timbulnya sikap
orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang menyadari tentang
pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan
pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap
demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20
jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk
mendidik anaknya 2 jam per minggu.
b. Situasi
lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai raga
bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat lainnya. Situasi
yang demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan berakhlaq mulia,
serta mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih
kemajuan.
c. Adanya gagasan
baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema
pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah
mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang terobosan menjadi mengambil
jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa melihat cara-cara yang halal dan
haram, seprti mencontek, membeli soal-soal ujian akhir, perolehan nilai secara
aspal, bahkan ada yang menghalalkan cara apapun seprti doktrin komunisme.
d. Timbulnya sikap
frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat
pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
e. Serbuan dampak
kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin melenturkan perasan
religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai
rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah
dan pemukiman yang baru.
2. Faktor-faktor
internal
a. Guru kurang kompeten
utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya
hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya
selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan
pendidikan.
b. Penyalah gunaan
menejemen penempatan yang mengalih tugaskan guru agama ke bagian administrasi,
seperti perpustakaan, atau pekerjaan non guru.
c. Pendekatan
metologi guru masih terpaku kepada orientasi tradisionali, sehingga tidak mampu
menarik minat murid pada pelajaran agama.
d. Kurangnya rasa
solidaritas antra guru agama dengan guru - guru bidang studi umum, sehingga
timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan pendidikan
agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
e. Kurangnya waktu
persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukan oleh usaha nonguru untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah
suasta.
f. Hubungan guru
agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi
informal di luar kelas.
g. Belum mantapnya
landasan perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengolahan pendikan agama
dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga
pendidikan islam.[5]
D. Karakteristik
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik
tertentu yang dapat membedakannya dengan mata pelajaran lainnya. Begitu juga
halnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Adapun karakteristik mata
pelajaran PAI adalah sebagai berikut:
1. PAI merupakan mata pelajaran yang
dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam,
sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam.
2. Ditinjau dari segi muatan
pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen
yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang bertujuan untuk
pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata pelajaran yang
memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh mata pelajaran PAI.
3. Diberikannya mata pelajaran PAI,
bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada
Allah Swt.
4. PAI adalah mata pelajaran yang tidak
hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman,
tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian
keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada
aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan
psikomotornya.
5. Secara umum mata pelajaran PAI
didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber pokok ajaran
Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadits Nabi Muhammad Saw. (dalil naqli).
Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli) para ulama mengembangkan
prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan mendetail dalam bentuk
fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.
6. Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang
dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak.
7. Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI
adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti
yang luhur).[6]
E.
Posisi
Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum
Pendidikan Agama Islam (PAI) di
Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan kelanjutan dari pengajaran yang diterima
oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan Atas. Pada November 1947 dibentuk Panitia
Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam
Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum,
Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia
(PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII
yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi
Yogyakarta sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949.
Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan
jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak menjadi Syari’ah) dan
Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada 26
September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1957. Karena
pentingnya arti dan fungsi pendidikan agama di pendidikan tinggi, pemerintah
mengambil langkah strategis dalam merumuskan dan memasukkan pendidikan agama
pada kebijakan negara di bidang pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat pada
amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun
1989 telah diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis
dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga
termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab
V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Di dalam Kurikulum
Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama
merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain
dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.
Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam
kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU
diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi
maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat
fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat
Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat,
sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau
bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah. Fenomena semacam ini, menurut
Muhaimin paling tidak, akan ditentukan
oleh :
1. Teologi agama dan doktrin ajarannya,
2. Sikap dan perilaku pemeluknya dalam
memahami dan menghayati agama tersebut,
3. Lingkungan sosio-kultural yang
mengelilinginya, dan
4. Peranan dan pengaruh dosen yang
mengarahkannya.
Jadi, tujuan pendidikan agama yang
diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi
yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam
konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan
kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya dan mencetak calon-calon
pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.[7]
F.
Persoalan Pendidikan Agama Di
Perguruan Tinggi Umum
Realitas Pendidikan Agama di PTU secara umum masih berada di
pinggiran (marjinal), meskipun secara ideal dan semboyan mata kuliah agama
berada di “pusat”. Berkaitan dengan ini, nilai mata kuliah agama sering mendapat
predikat “nilai dongkrakan” dan tidak menentukan bobot kelulusan akademik,
sebagaimana mata kuliah-mata kuliah lain. Jika nilai agama terlalu rendah dan
karena itu mahasiswa tidak lulus, maka nilai agama itu didongkrak agar
mahasiswa yang bersangkutan lulus. Di beberapa perguruan tinggi di bagian timur
Indonesia, pengajaran agama disejajarkan dengan pengajian di majlis ta’lim.
Kesan marjiSnalisasi
mata kuliah agama itu dikukuhkan dengan oleh sebagian para pimpinan perguruan
tinggi yang menganggap mata kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap.
Perkuliahan agama biasanya dilaksanakan secara masal dalam jumlah mahasiswa
yang “overload” dalam satu ruangan yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai
fakultas dan jurusan dengan alasan efisiensi. Nasib mata kuliah agama tidak
hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan
proporsional, mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan
agama ditempatkan pada semester pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan
saja, hanya untuk menghilangkan kesan sebagai perguruan tinggi yang sekuler.
Menurut Muhammad Alim, ada beberapa perguruan tinggi yang justru menghilangkan
perkuliahan agama. Di samping itu, materi mata kuliah agama terasa belum mampu
berperan sebagai sumber pengembangan iptek dan pedoman perilaku keseharian,
baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Materi kuliah
agama dipelajari secara parsial dan lepas kaitannya dengan mata kuliah-mata
kuliah lainnya. Dengan kata lain, mata kuliah agama belum menunjukkan link and
match dengan mata kuliah-mata kuliah lain. Dampak dari marjinalisasi mata
kuliah agama itu, standar kompetensi dosen kurang diperhatikan. Dalam kaitan
ini, dosen agama sering mendapat predikat “cepat minggir dan parkir”. Sebaliknya,
jika ada kekuarangan moral segenap civitas akademika, tuduhan justru sering
diarahkan kepada dosen agama. Masa depan dan karir dosen agama tampak masih
belum persspektif. Di beberapa perguruan tinggi, masih jarang dosen agama
lulusan S2 atau S3. Bahkan banyak di antara mereka belum memiliki gelar
akademik, kecuali pengalaman dan pengetahuan agama, yang sebenarnya tidak
memiliki kewenangan untuk mengajar. Beberapa pengamat justru melihat bahwa
orientasi pendidikan agama memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama
yang dapat membentuk manusia saleh. Harun Nasution (1995) mensinyalir bahwa
pendidikan agama hanya diberikan dalam konteks “pengajaran” semata.
Dalam terminologi Mohtar Bukhari
(1992), pendidikan agama itu hanya berorientasi pada aspek kognitif semata dan
mengabaikan pembinaan aspek-aspek apektif dan konatif-volitif (kemauan dan
tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam). Dari sinilah terjadi kesenjangan
antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan
nilai agama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam Fuadudin
Hasan Bisri (1999), demikian juga Maftuh Basyuni (2004). Dalam bahasa berbeda, M. Amin
Abdullah menyebut pendidikan agama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia
pada umumnya lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan
yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan-persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai”
yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik melalui berbagai cara,
media dan forum. Dalam bahasa yang sederhana, realitas pendidikan agama masih
berorientasi to have Religion dari pada Being Religious Oriented.
Dilihat dari segi metodologi, mata kuliah agama belum banyak
yang diintrodusir oleh sisi-sisi rasionalitas ajaran agama. Pada umumnya mata
kuliah agama diberikan segi tradisionalnya dan terkesan adanya
pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya, sehingga mata kuliah agama
tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan
mahasiswa dan tantangan zaman. Hal ini, antara lain, disebabkan belum adanya
kejelasan pembagian kerja dan kurikulum pengajaran agama di tingkat-tingkat
sebelumnya dan perguruan tinggi. Dengan demikian, modal dasar pengetahuan agama
mahasiswa beragam, dan mutu dosen masih perlu ditingkatkan . Furchan
(1993) menambahkan bahwa penggunaan
metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional,
normatif ahistoris dan akontektual. Di sisi lain, Towaf (Muhaimin, 2007) menambahkan bahwa kompetensi tenaga pengajar
yang minim dapat menghambat pendidikan agama di perguruan tinggi. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu melakukan
elaborasi, inovasi dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan
konteks sosial budaya, tetapi justru kembali mengajar dengan menggunakan sistem
tradisional-normatif.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka realitas
pendidikan agama masih sangat memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan
yang disalahartikan, orientasi, kurikulum yang terbatas pada aspek normatif dan
kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang belum jelas, metodologi yang
parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan
bersangkutan. Hal ini perlu dicarikan solusi untuk memecahkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan Agama Islam di era
sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi, dihadapkan
kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang
nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam
latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah
proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama
pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan
pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman
keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para
pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya
memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang
keagamaan.
Jika tidak
demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi
model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya
ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama
di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran
moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal
itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam,
khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.
Berbagai upaya untuk mengembangkan
materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus digalakkan dengan mengacu
pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan Agama Islam yang
berwawasan multikultural.
B. Saran
Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dari kata
sempurna.Akan tetapi bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan
yang terpendam dalam hati semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih pada
suatu saat terhadap makalah tema yang sama. Dan dapat menjadi referensi bagi
pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua. Kemudian mari kita
banyak mempelajari semaksimal mungkin mengenai Mata Pelajaran PAI di Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga
Djamaludin, Kapita
Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Majid, Abdul, Pendidikan
Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhaimin,Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
[6] Mudasir, Pengembangan
Sillabus Pendidikan Agama Islam (PAI) Untuk Meningkatkan Pemahaman Guru
Terhadap Kompetensi Siswa, http://blog.uin-suska.ac.id/Mudasir/note/2978/pengembangan-silabus-pai.html, diakses tanggal 1 Mei 2012
[7]Baidhawy,
Zakiyuddin..Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar