Jumat, 20 Januari 2017

MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM PADA SEKOLAH UMUM DAN PERGURUAN TINGGI UMUM



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, kita dituntut dengan kewajiban-kewajiban agama yang selalu mengikat kita untuk mengerjakan kewajiban tersebut, untuk melakukan kewajiban tersebut tentu kita harus mempelajarinya dahulu sebelum mengerjakan hal tersebut. Dan untuk mempelajari hal tersebut, kita harus memulainya sejak di bangku sekolah. Untuk meningkatkan kualitas agama dan kualitas moral yang baik tentu seorang perserta didik harus ditunjang dengan pendidikan agama islam yang luas dan mendalam. Karena dalam kenyataan yang kita hadapi sekarang, pendidikan agama justru mengalami kemerosotan di dalam dunia pendidikan, sehingga banyak muncul peserta didik yang akhlaknya tidak baik dan bahkan tidak bermoral. Hal tersebut didasari karena kurangnya pengetahuan peserta didik tentang larangan-larangan agama dan hukum-hukum tentang agama. Untuk mengurangi dampak negatif dari hal tersebut, tentu sarana pendidikan harus dapat meningkatkan kualitas agama dan lebih menekankan pendidikan agama terhadap peserta didik.
Di Perguruan Tinggi Umum (PTU), pendidikan agama termasuk kategori Matakuliah Umum (MKU) seperti Bahasa Indonesia, IAD/IBD/ISD, yang biasanya dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan Matakuliah Jurusan/Program Studi.  Hal Ini berbanding terbalik dengan di IAIN.  Sampai saat ini, IAIN tampaknya masih sibuk dengan persoalan ilmu-ilmu agama Islam secara umum dan di Fakultas Tarbiyah yang membidangi pendidikan Islam, mereka tampaknya masih sibuk dengan persoalan pendidikan Islam secara umum terutama di pesantren dan madrasah sehingga pendidikan agama Islam di sekolah umum, apalagi di perguruan tinggi umum tersisihkan. Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI di PTU, menjadi tak terbina sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan.  Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah tidak memberi dampak apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi).  Keberhasilan PAI di PTU sepenuhnya tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di PTU itu sendiri.  Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal saja.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum ?
2.      Apa Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI ?
3.      Apa Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI  di Sekolahan Umum ?
4.      Bagaimana Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam ?
5.      Bagaimana Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum ?
6.      Bagaimana Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian PAI Di Sekolah Umum
2.      Untuk Mengetahui Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
3.      Untuk Mengetahui Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI  di Sekolahan Umum
4.      Untuk Mengetahui Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
5.      Untuk Mengetahui Posisi PAI dalam Perguruan Tinggi Umum
6.      Untuk Mengetahui Persoalan PAI Di Perguruan Tinggi Umum

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3 : 2002).
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan tentang pendidikan agama seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat  dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran  agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]

B.     Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
            Sebagai bangsa indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan pada pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional tersebut dikelompokan kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran.
            Dengan demikian, sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu pengetahuan dan keteknologian yang makin optimal, yang  mana tiap tingkat, keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
            Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
            Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1.      Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3.      Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]

C.    Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI  di Sekolahan Umum
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung disekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan disebabkan karena praktek pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-voletif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dri pendiikan agama adalah pendidikan moral.[4]
Dalam pelaksanaan progam pendidikan agama diberbagai sekolah umum, belum seperti yang kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal fasilitas dasarnya telah disediakan oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR, pengaturan perundangan lainya, serta berbagai proyek pembangunan sektor agama dan pendidikan.




Beberapa faktor yang menghambat pendidikan agama :
1.      Faktor-faktor eksternal
a.       Timbulnya sikap orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang menyadari tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2 jam per minggu.
b.      Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai raga bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat lainnya. Situasi yang demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan berakhlaq mulia, serta mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
c.       Adanya gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang terobosan menjadi mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa melihat cara-cara yang halal dan haram, seprti mencontek, membeli soal-soal ujian akhir, perolehan nilai secara aspal, bahkan ada yang menghalalkan cara apapun seprti doktrin komunisme.
d.      Timbulnya sikap frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
e.       Serbuan dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin melenturkan perasan religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah dan pemukiman yang baru.
2.      Faktor-faktor internal
a.       Guru kurang kompeten utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
b.      Penyalah gunaan menejemen penempatan yang mengalih tugaskan guru agama ke bagian administrasi, seperti perpustakaan, atau pekerjaan non guru.
c.       Pendekatan metologi guru masih terpaku kepada orientasi tradisionali, sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
d.      Kurangnya rasa solidaritas antra guru agama dengan guru - guru bidang studi umum, sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan pendidikan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
e.       Kurangnya waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukan oleh usaha nonguru untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah suasta.
f.       Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas.
g.      Belum mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengolahan pendikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan islam.[5]



D.    Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang dapat membedakannya dengan mata pelajaran lainnya. Begitu juga halnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Adapun karakteristik mata pelajaran PAI adalah sebagai berikut:
1.      PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam.
2.      Ditinjau dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI.
3.      Diberikannya mata pelajaran PAI, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
4.      PAI adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya.
5.      Secara umum mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadits Nabi Muhammad Saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli) para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan mendetail dalam bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.
6.      Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak.
7.      Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur).[6]

E.     Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan kelanjutan dari pengajaran yang diterima oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan Atas. Pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949.
Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak menjadi Syari’ah) dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada 26 September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957. Karena pentingnya arti dan fungsi pendidikan agama di pendidikan tinggi, pemerintah mengambil langkah strategis dalam merumuskan dan memasukkan pendidikan agama pada kebijakan negara di bidang pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat pada amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 telah diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah. Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin  paling tidak, akan ditentukan oleh :
1.      Teologi agama dan doktrin ajarannya,
2.      Sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut,
3.      Lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan
4.      Peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.
Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya dan mencetak calon-calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.[7]

F.     Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum
Realitas Pendidikan Agama di PTU secara umum masih berada di pinggiran (marjinal), meskipun secara ideal dan semboyan mata kuliah agama berada di “pusat”. Berkaitan dengan ini, nilai mata kuliah agama sering mendapat predikat “nilai dongkrakan” dan tidak menentukan bobot kelulusan akademik, sebagaimana mata kuliah-mata kuliah lain. Jika nilai agama terlalu rendah dan karena itu mahasiswa tidak lulus, maka nilai agama itu didongkrak agar mahasiswa yang bersangkutan lulus. Di beberapa perguruan tinggi di bagian timur Indonesia, pengajaran agama disejajarkan dengan pengajian di majlis ta’lim. Kesan marjiSnalisasi mata kuliah agama itu dikukuhkan dengan oleh sebagian para pimpinan perguruan tinggi yang menganggap mata kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap. Perkuliahan agama biasanya dilaksanakan secara masal dalam jumlah mahasiswa yang “overload” dalam satu ruangan yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan dengan alasan efisiensi. Nasib mata kuliah agama tidak hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan proporsional, mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan agama ditempatkan pada semester pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan saja, hanya untuk menghilangkan kesan sebagai perguruan tinggi yang sekuler. Menurut Muhammad Alim, ada beberapa perguruan tinggi yang justru menghilangkan perkuliahan agama. Di samping itu, materi mata kuliah agama terasa belum mampu berperan sebagai sumber pengembangan iptek dan pedoman perilaku keseharian, baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Materi kuliah agama dipelajari secara parsial dan lepas kaitannya dengan mata kuliah-mata kuliah lainnya. Dengan kata lain, mata kuliah agama belum menunjukkan link and match dengan mata kuliah-mata kuliah lain. Dampak dari marjinalisasi mata kuliah agama itu, standar kompetensi dosen kurang diperhatikan. Dalam kaitan ini, dosen agama sering mendapat predikat “cepat minggir dan parkir”. Sebaliknya, jika ada kekuarangan moral segenap civitas akademika, tuduhan justru sering diarahkan kepada dosen agama. Masa depan dan karir dosen agama tampak masih belum persspektif. Di beberapa perguruan tinggi, masih jarang dosen agama lulusan S2 atau S3. Bahkan banyak di antara mereka belum memiliki gelar akademik, kecuali pengalaman dan pengetahuan agama, yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mengajar. Beberapa pengamat justru melihat bahwa orientasi pendidikan agama memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama yang dapat membentuk manusia saleh. Harun Nasution (1995) mensinyalir bahwa pendidikan agama hanya diberikan dalam konteks “pengajaran” semata.
Dalam terminologi Mohtar Bukhari (1992), pendidikan agama itu hanya berorientasi pada aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek-aspek apektif dan konatif-volitif (kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam). Dari sinilah terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam Fuadudin Hasan Bisri (1999), demikian juga Maftuh Basyuni (2004). Dalam bahasa berbeda, M. Amin Abdullah menyebut pendidikan agama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan-persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik melalui berbagai cara, media dan forum. Dalam bahasa yang sederhana, realitas pendidikan agama masih berorientasi to have Religion dari pada Being Religious Oriented.
Dilihat dari segi metodologi, mata kuliah agama belum banyak yang diintrodusir oleh sisi-sisi rasionalitas ajaran agama. Pada umumnya mata kuliah agama diberikan segi tradisionalnya dan terkesan adanya pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya, sehingga mata kuliah agama tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan mahasiswa dan tantangan zaman. Hal ini, antara lain, disebabkan belum adanya kejelasan pembagian kerja dan kurikulum pengajaran agama di tingkat-tingkat sebelumnya dan perguruan tinggi. Dengan demikian, modal dasar pengetahuan agama mahasiswa beragam, dan mutu dosen masih perlu ditingkatkan . Furchan (1993)  menambahkan bahwa penggunaan metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional, normatif ahistoris dan akontektual. Di sisi lain, Towaf (Muhaimin, 2007)  menambahkan bahwa kompetensi tenaga pengajar yang minim dapat menghambat pendidikan agama di perguruan tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu melakukan elaborasi, inovasi dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan konteks sosial budaya, tetapi justru kembali mengajar dengan menggunakan sistem tradisional-normatif.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka realitas pendidikan agama masih sangat memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan yang disalahartikan, orientasi, kurikulum yang terbatas pada aspek normatif dan kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang belum jelas, metodologi yang parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan bersangkutan. Hal ini perlu dicarikan solusi untuk memecahkannya.

  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Pendidikan Agama Islam di era sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi, dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.
Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.
Berbagai upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikultural.



B.     Saran

Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dari kata sempurna.Akan tetapi bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan yang terpendam dalam hati semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih pada suatu saat terhadap makalah tema yang sama. Dan dapat menjadi referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua. Kemudian mari kita banyak mempelajari semaksimal mungkin mengenai Mata Pelajaran PAI di Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum  dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.




DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga
Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Majid, Abdul, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhaimin,Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.







         [1]Abdul Majid, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, hlm. 131
         [2] Drs. H. Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, hlm. 38
         [3] Ibid, hlm.38
         [4] Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, hlm. 23
         [5] ibid, hlm. 21
[6] Mudasir,   Pengembangan Sillabus Pendidikan  Agama Islam (PAI) Untuk Meningkatkan Pemahaman Guru Terhadap Kompetensi Siswa, http://blog.uin-suska.ac.id/Mudasir/note/2978/pengembangan-silabus-pai.html, diakses tanggal 1 Mei 2012
[7]Baidhawy, Zakiyuddin..Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, hlm.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersinarlah

Assalamualaikum sahabat sholihah semua, hari ini aku ingin menceritakan sekilas tentang kisah hidup yang mungkin diantara kita merasakan hal...